Entri Populer

Senin, 05 November 2012

1. apa pengertian evolusi menurut anda?
2. apakah anda setuju dengan teori evolusi manusia oleh darwin? kemukakan pendapat anda!
3. jelaskan mekanisme evolusi!
4. apa pendapat anda mengenai teori evolusi lamarck?
5. apakah anda mengalami evolusi? jelaskan!

Kamis, 18 Oktober 2012

FAKTOR FISIK PERAIRAN
1. Arus
Arus air adalah pergerakan massa air menuju ketempat lain yang disebabkan oleh perbedaan ketinggian dasar perairan, kerapatan molekul air, atau karena tiupan angin. Arus dapat bergerak secara vertikal maupun horisontal. Pada ekosistem perairan arus memiliki peran yang sangat penting terutama berkaitan dengan pola sebaran organisme, pengangkutan energi, gas-gas terlarut dan mineral di dalam air. Arus juga akan berpengaruh terhadap substrat dasar perairan. Dalam perairan dikenal ada dua tipe arus yaitu turbulen dan laminar. Turbulen merupakan arus air yang bergerak kesegala arah sehingga air akan terdistribusi keseluruh bagian perairan, sedangkan laminar yaitu arus air yang bergerak kesatu arah tertentu saja. Pada ekosistem perairan lentik yang relatif dalam akan memungkinkan terjadinya arus vertikal yaitu pergerakan air dari dasar ke permukaan atau sebaliknya. Hal tersebut karena adanya stratifikasi suhu pada perairan tersebut. Kenaikan suhu perairan akan menyebabkan menurunnya kerapatan molekul air, air akan bergerak dari massa yang memiliki kerapatan molekul lebih tinggi ke yang lebih rendah. Arus vertikal ini berperan sangat penting terhadap distribusi gas terlarut, mineral, kekeruhan, dan organisme planktonik. Pada ekosistem lotik arus memiliki peranan yang sangat penting. Pada ekosistem ini arus sangat fluktuatif dari waktu ke waktu karena dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: sudut kemiringan dasar perairan, tipe substrat dasar, musim, debit air, luas permukaan perairan, dan tipe alur sungai (lurus atau berkelok).
Pada ekosistem sungai yang lurus arus cenderung bergerak relatif lebih cepat, apalagi jika volume debit air besar (musim penghujan) dan dengan sudut kemiringan dasar perairan besar. Dengan kondisi demikian dan adanya arus turbulen maka air sungai dapat bergerak keluar dari badan air dan menggenangi wilayah di sekitar Daerah
Aliran Sungai (DAS). Pada alur sungai yang lurus arus air tercepat berada pada bagian
tengah sungai, karena daerah ini tidak ada gesekan secara fisik dengan dua sisi DAS
yang dapat memperlambat aliran. Pada alur sungai yang berkelok (meander), kecepatan arus paling tinggi akan dijumpai pada bagian luar pinggir sungai, sesuai dengan hukum fisika massa sentrifugal.
Pada ekosistem sungai yang didominasi oleh substrat dasar berbatu akan
ditemui kondisi arus dengan kecepatan relatif lambat, terutama di belakang batubatuan
besar di dasar perairan. Daerah berarus lambat ini merupakan habitat sangat ideal bagi organisme air yang secara morfologi bukan tipikal organisme yang mampu beradaptasi terhadap habitat perairan berarus deras. Beberapa organisme yang beradaptasi secara tingkah laku seperti ini antara lain adalah berbagai jenis larva arthropoda, crustacea, dan beberapa jenis ikan seperti ikan lele (Clarias sp) yang secara morfologi bukan tipikal ikan yang berhabitat alamiah di perairan berarus deras. Organisme secara alamiah memiliki habitat tertentu dan hal itu dicirakan oleh morfologinya. Ikan-ikan yang memiliki habitat alamiah di perairan berarus deras akan memiliki morfologi yang khas berupa bentuk tubuh yang streamline seperti ditunjukkan pada ikan Puntius sp., Mugil sp. dan lain-lain. Pada Turbelaria dan Hirudineae yang hidup di perairan yang berarus deras memiliki tubuh yang rata dan mendatar sehingga mengurangi gaya gesek organisme tersebut dengan arus air. Organisme pada kondisi tertentu juga mampu hidup di habitat yang bukan habitat alamiahnya dengan cara adaptasi secara tingkah laku.
2. Suhu/ temperatur
Suhu pada ekosistem perairan berfluktuasi baik harian maupun tahunan, terutama mengikuti pola temperatur udara lingkungan sekitarnya, intensitas cahaya matahari, letak geografis, penaungan dan kondisi internal perairan itu sendiri seperti kekeruhan, kedalaman, kecepatan arus dan timbunan bahan organik di dasar perairan. Suhu memiliki peran yang sangat penting terhadap kehidupan di dalam air. Kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis di dalam perairan sangat
dipengaruhi oleh suhu. Sebagaimana diketahui bahwa meningkatnya suhu sebesar 10°C akan meningkatkan laju metabolisme sebesar 2 – 3 kali lipat. Meningkatnya laju metabolisme akan menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat, sementara dilain pihak naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menurun. Fenomena ini akan menyebabkan organisme air mengalami kesulitan untuk respirasi
Pada ekosistem perairan daerah tropis suhu cenderung konstan sepanjang tahun, berbeda dengan ekosistem perairan di daerah subtropis. Hal ini berhubungan dengan musim. Di daerah tropis tidak mengenal musim dingin sehingga tidak ada kondisi dimana lingkungan berada pada suhu yang ekstrim rendah. Seperti pengamatan yang dilakukan di sungai Donan dan Sapuregel Cilacap, terlihat tidak terjadi perubahan suhu yang drastis sepanjang tahun. Suhu perairan berkisar antara 29 – 32° C ( Satino, 2001).
Di daerah tropis suhu lebih berfluktuasi berdasarkan ketinggian tempat (latitude). Pada daerah hulu suhu relatif lebih rendah di banding dengan suhu perairan di daerah hilir, selain karena berhubungan dengan suhu lingkungan juga disebabkan oleh perbedaan aktivitas manusia di kedua daerah tersebut. Suhu air juga akan turun seiring dengan meningkatnya kedalaman, tetapi di perairan tropis tidak terjadi penurunan yang ekstrem.
Berhubungan dengan suhu perairan, harus diketahui bahwa organisme air memiliki kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu media tempat hidupnya. Terdapat organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap perubahan suhu lingkungan (euriterm) dan ada jenis yang kisaran toleransinya sempit (stenoterm). Kondisi tersebut menyebabkan sesuatu yang wajar apabila terdapat perbedaan signifikan jenis organisme yang hidup pada daerah yang memilki letak geografis yang berbeda, karena organisme memiliki temperatur lethal baik lethal atas maupun lethal bawah terhadap suhu. Kemampuan organisme untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan suhu idealnya, meskipun tidak menyebabkan kematian akan dapat berakibat terhadap laju pertumbuhan dan umur/masa hidup organisme. Laju pertumbuhan sangat berkorelasi dengan proses metabolisme tubuh, dan peningkatan metabolisme akibat kenaikan suhu tentu akan mempercepat pertumbuhan. Peningkatan metabolisme juga akan mimicu meningkatnya aktifitas fisiologis yang berhubungan dengan proses biokimiawi dan kerja organ. Dengan maksimalnya pertumbuhan dan kerja organ maka
dapat berakibat terhadap berkurangnya masa hidup organisme.

3. Substrat Dasar
Substrat dasar perairan dapat menjadi faktor pembatas, baik secara sendiri maupun komulatif terhadap organisme perairan. Substrat dasar perairan sangat berhubungan dengan kecepatan arus, dan aktivitas manusia di sepanjang DAS. Substrat dasar akan berpengaruh terhadap distribusi organisme perairan. Organisme perairan secara morfologi memiliki kekhasan tertentu untuk dapat hidup pada habitat perairan dengan tipe substrat dasar tertentu. Jenis-jenis gastropoda banyak ditemukan pada ekosistem perairan dengan substrat dasar berbatu, hal ini karena gastropoda memiliki kemampuan untuk melekat kuat pada substrat bebatuan dan juga dilengkapi cangkang yang keras sehingga dapat melindungi tubuhnya apabila terjadi benturan dengan substrat yang keras. Kelompok bivalvia dan vermes lebih banyak ditemukan pada ekosistem perairan dengan substrat dasar berpasir atau berlumpur.
4. Kekeruhan/turbiditas
Kekeruhan/turbidaitas adalah banyaknya jumlah partikel tersuspensi di dalam air. Turbiditas pada ekositem perairan juga sangat berhubungan dengan kedalaman, kecepatan arus, tipe substrat dasar, dan suhu perairan. Pengaruh ekologis kekeruhan adalah menurunnya daya penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan yang selanjutnya menurunkan produktivitas primer akibat penurunan fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan bentik. Peningkatan kekeruhan pada ekosistem perairan juga akan berakibat terhadap mekanisme pernafsan organisme perairan. Apabila kekeruhan semakin tinggi maka sebagian materi terlarut tersebut akan menempel pada bagian rambut-rambut insang sehingga kemampuan insang untuk mengambil oksigen
terlarut menjadi menurun, bahkan pada tingkat kekeruhan tertentu dapat menyebabkan insang tidak dapat berfungsi dan menyebabkan kematian.
5. Penetrasi Cahaya Matahari / Kecerahan
Penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan akan mempengaruhi produktifitas primer. Kedalaman penetrasi cahaya matahari kedalam perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: tingkat kekeruhan perairan, sudut datang cahaya matahari dan intensitas cahaya matahari. Pada batas akhir cahaya matahari mampu menembus perairan disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan
Bagi organisme perairan, intensitas cahaya matahari yang masuk berfungsi
sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme pada habitatnya. Beberapa jenis larva serangga akan melakukan gerakan lokomotif sebagai bentuk reaksi terhadap menurunnya intensitas cahaya matahari. Larva ini akan keluar dari persembunyiannya yang terdapat pada bagian bawah bebatuan di dasar perairan
menuju ke bagian atas bebatuan untuk mencari makan.
6. Kedalaman
Kedalaman perairan berperan penting terhadap kehidupan biota pada ekosistem tersebut. Semakin dalam perairan maka terdapat zona-zona yang masingmasing memiliki kekhasan tertentu, seperti suhu, kelarutan gas-gas dalam air, kecepatan arus, penetrasi cahaya matahari dan tekanan hidrostatik. Perubahan faktorfaktor
fisik dan kimiawi perairan akibat perubahan kedalaman akan menyebabkan
respon yang berbeda biota di dalamnya.

KIMIAWI PERAIRAN
1. pH
Nilai pH menyatakan konsentarasi ion hidrogen (H+) dalam larutan atau didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen yang secara matematis dinyatakan dengan persamaan pH = log 1/H+. H+ adalah jumlah ion hidrogen dalam mol per liter larutan. Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan apakah larutan tersebut bersifat asam atau basa.
Dalam air yang bersih, jumlah konsentrasi ion H+ dan OH־ berada dalam keseimbangan atau dikenal dengan pH = 7. Peningkatan ion hidrogen akan menyebabkan nilai pH turun dan disebut sebagai larutan asam. Sebaliknya apabila ion hidrogen berkurang akan menyebabkan nilai pH naik dan dikenal dengan larutan basa. Organisme perairan dapat hidup ideal dalam kisaran pH antara asam lemah sampai dengan basa lemah. Kondisi perairan yang bersifat asam kuat ataupun basa kuat akan membahayakan kelangsungan hidup biota, karena akan menggangu proses metabolisme dan respirasi. Perairan dengan kondisi asam kuat akan menyebabkan logam berat seperti aluminium memiliki mobilitas yang meningkat dan karena logam ini bersifat toksik maka dapat mengancam kehidupan biota. Sedangkan keseimbanga amonium dan amoniak akan terganggu apabila pH air terlalu basa. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga toksik terhadap biota.
2. DO
DO atau oksigen terlarut merupakan jumlah gas O2 yang diikat oleh molekul air. Kelarutan O2 di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh suhu dan mineral terlarut dalam air. Kelarutan maksimum oksigen dalam air terdapat pada suhu 0 C°, yaitu sebesar 14,16 mg/l. Konsentrasi ini akan menurun seiring peningkatan ataupun penurunan suhu. Sumber utama DO dalam perairan adalah dari proses fotosintesis tumbuhan dan penyerapan/pengikatan secara langsung oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara. Sedangkan berkurangnya DO dalam perairan adalah kegiatan respirasi organisme perairan atau melalui pelepasan secara langsung dari permukaan perairan ke atmosfer. Pengaruh DO terhadap biota perairan hanya sebatas pada kebutuhan untuk respirasi, berbeda dengan pengaruh suhu yang cenderung lebih komplek. Beberapa organisme perairan bahkan memiliki mekanisme yang memungkinkan dapat hidup pada kondisi oksigen terlarut yang sangat rendah. Beberapa contoh species yang memiliki kemampuan ini adalah larva dari Diptera dan Coleoptera serta larva dan pupa dari Culex sp. Organisme ini mempunyai sistem trachea terbuka seperti yang dimiliki oleh insekta terrestrial. Organisme ini dapat mengambil oksigen untuk respirasi dengan mengambil dari udara di permukaan air. Kemampuan tersebut menjadikan organisme ini dapat digunakan sebagai bioindikator ekosistem perairan yang tercemar oleh buangan limbah organik.
Bebrapa organisme perairan juga memiliki kemampuan untuk menyesuaikan
dengan kondisi lingkungan yang miskin oksigen seperti yang dilakukan oleh Planaria sp. Organisme ini apabila dalam perairan oksigen terlarut sangat rendah maka akan menurunkan konsumsi oksigen untuk respirasi, selanjutnya kekurangan oksigen tersebut akan dikompensasi pada proses respirasi selanjutnya dengan meningkatkan konsumsi oksigen, jadi organisme ini memiliki mekanisme yang unik dengan menyimpan oksigen di dalam tubuhnya untuk dimanfaatkan ketika lingkungan DO nya rendah. Mekanisme lain ditunjukan oleh species cacing Tubifex sp yang dapat hidup pada kondisi perairan tercemar bahan organik dan miskin oksigen terlarut. Mekanisme yang dilakukan oleh cacing ini adalah dengan membenamkan bagian kepalanya ke dalam lumpur sedangkan tubuh yang lain menjulur ke perairan. Dengan luas permukaannya organisme ini menyerap langsung DO melalui seluruh bagian tubuh yang menjurai ke dalam air. Secara umum organisme perairan memiliki daya adaptasi yang baik
terhadap DO rendah pada suhu yang relatif rendah. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan oksigen untuk proses fisiologis dan reaksi biokimiawi dalam tubuh organisme.
3. BOD
Nilai BOD (Biological Oxygen Demand) menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh organisme aerob untuk aktivitas hidup. Secara spesifik dalam hal ini
adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob untuk mendegradasi senyawa organik dalam perairan. Setelah melalui berbagai proses penelitian yang panjang dan berulang-ulang berhasil ditentukan pengukuran BOD dilakukan selama 5 hari atau dikenal dengan BOD5 pada suhu 20° C. Selisih antara
oksigen terlarut pada hari ke-0 dengan oksigen terlarut yang diukur setelah hari ke-5
yang didedah pada suhu 20° C disebut sebagai banyaknya oksigen yang dibutuhkan
oleh mikroorganisme untuk mendegradasi bahan organik dalam perairan. Nilai BOD
menunjukkan kandungan bahan organik dalam perairan, semakin tinggi nilai BOD
maka mengindikasikan bahwa perairan tersebut banyak mengandung bahan organik di
dalamnya. Demikian juga sebaliknya, apabila nilai BOD rendah maka
mengindikasikan bahwa perairan tersebut miskin bahan organik.
4. COD
Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menunjukan jumlah oksigen total
yang dibutuhkan di dalam perairan untuk mengoksidasi senyawa kimiawi yang masuk
ke dalam perairan seperti minyak, logam berat maupun bahan kimiawi lain. Besarnya
nilai COD mengindikasikan banyaknya senyawa kimiaei yang ada di dalam perairan
dan sebaliknya rendahnya nilai COD mengindikasikan rendahnya senyawa kimia di
dalam perairan. BOD dinyatakan dalam mg/lt
5. CO2
CO2 dalam air meskipun sangat mudah larut dalam air tetapi umumnya berada dalam keadaan terikat dengan air membentuk asam karbonat (H2CO3). Keterikatan CO2 dalam air dalam bentuk H2CO3 sangat dipengaruhi oleh nilai pH air. Pada pH Air yang rendah (pH = 4) karbondioksida berada dalam keadaan terlarut, pada pH antara 7 – 10 semua karbondioksida dalam bentuk ion HCO3־, sedangkan pada pH sekitar 11 karbondioksida dijumpai dalam bentuk ion CO32- , sehingga dalam keadaan basa akan menyebabkan peningkatan ion karbonat dan bikarbonat dalam perairan.
Karbondioksida dalam air dapat berasal dari pengikatan langsung dari udara bebas, dan melalui proses respirasi organisme. Karbondioksida dalam perairan sangat dibutuhkan terutama oleh tumbu-tumbuhan air termasuk algae untuk fotosistesis. Ada perbedaan mendasar antara fotosintesis yang berlangsung pada tumbuhan aquatik dengan fotosintesis tumbuhan tersestrial. Sumber karbondioksida yang dibutuhkan pada proses fotosintesis tumbuhan terestrial sepenuhnya langsung diambil dari atmosfir, sementara proses fotosintesis dalam lingkungan aquatiktergantung pada sumber karbondioksida yang terlarut dalam air. Ada jenis tumbuhan air yang dapat memanfaatkan karbondioksida bebas yang terlarut dalam air secara langsung, tetapi karena pH dalam perairan umumnya netral, maka jarang ditemukan karbondioksida dalam bentuk bebas. Berdasarkan pada sumber karbondioksida yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis, maka tumbuhan air dibedakan menjadi 3 tipe yaitu:
a. Tipe fontinalis, yaitu tumbuhan yang melakukan fotosintesis dengan memanfaatkan karbondioksida bebas, seperti pada lumut air (Fonatinalis
antipyretica)
b. Tipe Elodea, yaitu tumbuhan air yang untuk fotosintesis selain membutuhkan karbondioksida bebas juga dalam bentuk ion-ion karbonat
c. Tipe Scenedesmus, yaitu tumbuhan yang melakukan fotosintesis dengan memanfaatkan ion bikarbonat, biasanya dilakukan oleh ganggang hijau
Pada perairan yang mengandung kalsium tinggi, karbondioksida akan berikatan dengan kalsium karbonat membentuk kalsium hidrogen bikarbonat. Senyawa ini akan menjadi cadangan karbondioksida untuk fotosintesis.
6. Nitrogen
Dalam ekosistem perairan nitrogen dapat terdapat dalam berbagai bentuk. Sebagian besar dalam bentuk nitrogen molekuker (N2), dan sebagian kecil dalam bentuk nitrit (NO2) atau nitrat (NO3), serta Amonia (NH4). Nitrogen memegang peranan kritis dalam daur bahan organik untuk menghasilkan asam amino yang merupakan bahan dasar penyusunan protein.
Nitrogen terlarut dalam ekosistem perairan dapat berasal dari pengikatan molekul nitrogen oleh bakteri pengikat nitrogen, penguraian sisa-sisa organisme yang mati, dan proses oksidasi yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas. Untuk lebih jelasnya silahkan lihat siklus nitrogen pada buku Limnology (Goldman)
7. Fosfat
Fosfat dalam ekosistem perairan dapat terdapat dalam bentuk senyawa organik seperti protein ataupun gula, sebagian dalam bentuk kalsium fosfat (CaPO4) dan besi fosfat (FePO4) anorganik. Fosfat tersedia melimpah dalam perairan dalam bentuk ortofosfat. Senyawa anorganik ini dihasilkan oleh bakteri melalui pemecahan fosfat organik dari organisme yang mati. Proses ini berlangsung relatif mudah dan cepat, sehingga dalam ekosistem perairan fosfat bukan merupakan pembatas karena selalu tersedia dalam jumlah yang cukup.

sifat fisik kimia perairan

FAKTOR FISIK PERAIRAN
1. Arus
Arus air adalah pergerakan massa air menuju ketempat lain yang disebabkan oleh perbedaan ketinggian dasar perairan, kerapatan molekul air, atau karena tiupan angin. Arus dapat bergerak secara vertikal maupun horisontal. Pada ekosistem perairan arus memiliki peran yang sangat penting terutama berkaitan dengan pola sebaran organisme, pengangkutan energi, gas-gas terlarut dan mineral di dalam air. Arus juga akan berpengaruh terhadap substrat dasar perairan. Dalam perairan dikenal ada dua tipe arus yaitu turbulen dan laminar. Turbulen merupakan arus air yang bergerak kesegala arah sehingga air akan terdistribusi keseluruh bagian perairan, sedangkan laminar yaitu arus air yang bergerak kesatu arah tertentu saja. Pada ekosistem perairan lentik yang relatif dalam akan memungkinkan terjadinya arus vertikal yaitu pergerakan air dari dasar ke permukaan atau sebaliknya. Hal tersebut karena adanya stratifikasi suhu pada perairan tersebut. Kenaikan suhu perairan akan menyebabkan menurunnya kerapatan molekul air, air akan bergerak dari massa yang memiliki kerapatan molekul lebih tinggi ke yang lebih rendah. Arus vertikal ini berperan sangat penting terhadap distribusi gas terlarut, mineral, kekeruhan, dan organisme planktonik. Pada ekosistem lotik arus memiliki peranan yang sangat penting. Pada ekosistem ini arus sangat fluktuatif dari waktu ke waktu karena dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: sudut kemiringan dasar perairan, tipe substrat dasar, musim, debit air, luas permukaan perairan, dan tipe alur sungai (lurus atau berkelok).
Pada ekosistem sungai yang lurus arus cenderung bergerak relatif lebih cepat, apalagi jika volume debit air besar (musim penghujan) dan dengan sudut kemiringan dasar perairan besar. Dengan kondisi demikian dan adanya arus turbulen maka air sungai dapat bergerak keluar dari badan air dan menggenangi wilayah di sekitar Daerah
Aliran Sungai (DAS). Pada alur sungai yang lurus arus air tercepat berada pada bagian
tengah sungai, karena daerah ini tidak ada gesekan secara fisik dengan dua sisi DAS
yang dapat memperlambat aliran. Pada alur sungai yang berkelok (meander), kecepatan arus paling tinggi akan dijumpai pada bagian luar pinggir sungai, sesuai dengan hukum fisika massa sentrifugal.
Pada ekosistem sungai yang didominasi oleh substrat dasar berbatu akan
ditemui kondisi arus dengan kecepatan relatif lambat, terutama di belakang batubatuan
besar di dasar perairan. Daerah berarus lambat ini merupakan habitat sangat ideal bagi organisme air yang secara morfologi bukan tipikal organisme yang mampu beradaptasi terhadap habitat perairan berarus deras. Beberapa organisme yang beradaptasi secara tingkah laku seperti ini antara lain adalah berbagai jenis larva arthropoda, crustacea, dan beberapa jenis ikan seperti ikan lele (Clarias sp) yang secara morfologi bukan tipikal ikan yang berhabitat alamiah di perairan berarus deras. Organisme secara alamiah memiliki habitat tertentu dan hal itu dicirakan oleh morfologinya. Ikan-ikan yang memiliki habitat alamiah di perairan berarus deras akan memiliki morfologi yang khas berupa bentuk tubuh yang streamline seperti ditunjukkan pada ikan Puntius sp., Mugil sp. dan lain-lain. Pada Turbelaria dan Hirudineae yang hidup di perairan yang berarus deras memiliki tubuh yang rata dan mendatar sehingga mengurangi gaya gesek organisme tersebut dengan arus air. Organisme pada kondisi tertentu juga mampu hidup di habitat yang bukan habitat alamiahnya dengan cara adaptasi secara tingkah laku.
2. Suhu/ temperatur
Suhu pada ekosistem perairan berfluktuasi baik harian maupun tahunan, terutama mengikuti pola temperatur udara lingkungan sekitarnya, intensitas cahaya matahari, letak geografis, penaungan dan kondisi internal perairan itu sendiri seperti kekeruhan, kedalaman, kecepatan arus dan timbunan bahan organik di dasar perairan. Suhu memiliki peran yang sangat penting terhadap kehidupan di dalam air. Kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis di dalam perairan sangat
dipengaruhi oleh suhu. Sebagaimana diketahui bahwa meningkatnya suhu sebesar 10°C akan meningkatkan laju metabolisme sebesar 2 – 3 kali lipat. Meningkatnya laju metabolisme akan menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat, sementara dilain pihak naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menurun. Fenomena ini akan menyebabkan organisme air mengalami kesulitan untuk respirasi
Pada ekosistem perairan daerah tropis suhu cenderung konstan sepanjang tahun, berbeda dengan ekosistem perairan di daerah subtropis. Hal ini berhubungan dengan musim. Di daerah tropis tidak mengenal musim dingin sehingga tidak ada kondisi dimana lingkungan berada pada suhu yang ekstrim rendah. Seperti pengamatan yang dilakukan di sungai Donan dan Sapuregel Cilacap, terlihat tidak terjadi perubahan suhu yang drastis sepanjang tahun. Suhu perairan berkisar antara 29 – 32° C ( Satino, 2001).
Di daerah tropis suhu lebih berfluktuasi berdasarkan ketinggian tempat (latitude). Pada daerah hulu suhu relatif lebih rendah di banding dengan suhu perairan di daerah hilir, selain karena berhubungan dengan suhu lingkungan juga disebabkan oleh perbedaan aktivitas manusia di kedua daerah tersebut. Suhu air juga akan turun seiring dengan meningkatnya kedalaman, tetapi di perairan tropis tidak terjadi penurunan yang ekstrem.
Berhubungan dengan suhu perairan, harus diketahui bahwa organisme air memiliki kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu media tempat hidupnya. Terdapat organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap perubahan suhu lingkungan (euriterm) dan ada jenis yang kisaran toleransinya sempit (stenoterm). Kondisi tersebut menyebabkan sesuatu yang wajar apabila terdapat perbedaan signifikan jenis organisme yang hidup pada daerah yang memilki letak geografis yang berbeda, karena organisme memiliki temperatur lethal baik lethal atas maupun lethal bawah terhadap suhu. Kemampuan organisme untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan suhu idealnya, meskipun tidak menyebabkan kematian akan dapat berakibat terhadap laju pertumbuhan dan umur/masa hidup organisme. Laju pertumbuhan sangat berkorelasi dengan proses metabolisme tubuh, dan peningkatan metabolisme akibat kenaikan suhu tentu akan mempercepat pertumbuhan. Peningkatan metabolisme juga akan mimicu meningkatnya aktifitas fisiologis yang berhubungan dengan proses biokimiawi dan kerja organ. Dengan maksimalnya pertumbuhan dan kerja organ maka
dapat berakibat terhadap berkurangnya masa hidup organisme.

3. Substrat Dasar
Substrat dasar perairan dapat menjadi faktor pembatas, baik secara sendiri maupun komulatif terhadap organisme perairan. Substrat dasar perairan sangat berhubungan dengan kecepatan arus, dan aktivitas manusia di sepanjang DAS. Substrat dasar akan berpengaruh terhadap distribusi organisme perairan. Organisme perairan secara morfologi memiliki kekhasan tertentu untuk dapat hidup pada habitat perairan dengan tipe substrat dasar tertentu. Jenis-jenis gastropoda banyak ditemukan pada ekosistem perairan dengan substrat dasar berbatu, hal ini karena gastropoda memiliki kemampuan untuk melekat kuat pada substrat bebatuan dan juga dilengkapi cangkang yang keras sehingga dapat melindungi tubuhnya apabila terjadi benturan dengan substrat yang keras. Kelompok bivalvia dan vermes lebih banyak ditemukan pada ekosistem perairan dengan substrat dasar berpasir atau berlumpur.
4. Kekeruhan/turbiditas
Kekeruhan/turbidaitas adalah banyaknya jumlah partikel tersuspensi di dalam air. Turbiditas pada ekositem perairan juga sangat berhubungan dengan kedalaman, kecepatan arus, tipe substrat dasar, dan suhu perairan. Pengaruh ekologis kekeruhan adalah menurunnya daya penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan yang selanjutnya menurunkan produktivitas primer akibat penurunan fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan bentik. Peningkatan kekeruhan pada ekosistem perairan juga akan berakibat terhadap mekanisme pernafsan organisme perairan. Apabila kekeruhan semakin tinggi maka sebagian materi terlarut tersebut akan menempel pada bagian rambut-rambut insang sehingga kemampuan insang untuk mengambil oksigen
terlarut menjadi menurun, bahkan pada tingkat kekeruhan tertentu dapat menyebabkan insang tidak dapat berfungsi dan menyebabkan kematian.
5. Penetrasi Cahaya Matahari / Kecerahan
Penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan akan mempengaruhi produktifitas primer. Kedalaman penetrasi cahaya matahari kedalam perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: tingkat kekeruhan perairan, sudut datang cahaya matahari dan intensitas cahaya matahari. Pada batas akhir cahaya matahari mampu menembus perairan disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan
Bagi organisme perairan, intensitas cahaya matahari yang masuk berfungsi
sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme pada habitatnya. Beberapa jenis larva serangga akan melakukan gerakan lokomotif sebagai bentuk reaksi terhadap menurunnya intensitas cahaya matahari. Larva ini akan keluar dari persembunyiannya yang terdapat pada bagian bawah bebatuan di dasar perairan
menuju ke bagian atas bebatuan untuk mencari makan.
6. Kedalaman
Kedalaman perairan berperan penting terhadap kehidupan biota pada ekosistem tersebut. Semakin dalam perairan maka terdapat zona-zona yang masingmasing memiliki kekhasan tertentu, seperti suhu, kelarutan gas-gas dalam air, kecepatan arus, penetrasi cahaya matahari dan tekanan hidrostatik. Perubahan faktorfaktor
fisik dan kimiawi perairan akibat perubahan kedalaman akan menyebabkan
respon yang berbeda biota di dalamnya.

KIMIAWI PERAIRAN
1. pH
Nilai pH menyatakan konsentarasi ion hidrogen (H+) dalam larutan atau didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen yang secara matematis dinyatakan dengan persamaan pH = log 1/H+. H+ adalah jumlah ion hidrogen dalam mol per liter larutan. Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan apakah larutan tersebut bersifat asam atau basa.
Dalam air yang bersih, jumlah konsentrasi ion H+ dan OH־ berada dalam keseimbangan atau dikenal dengan pH = 7. Peningkatan ion hidrogen akan menyebabkan nilai pH turun dan disebut sebagai larutan asam. Sebaliknya apabila ion hidrogen berkurang akan menyebabkan nilai pH naik dan dikenal dengan larutan basa. Organisme perairan dapat hidup ideal dalam kisaran pH antara asam lemah sampai dengan basa lemah. Kondisi perairan yang bersifat asam kuat ataupun basa kuat akan membahayakan kelangsungan hidup biota, karena akan menggangu proses metabolisme dan respirasi. Perairan dengan kondisi asam kuat akan menyebabkan logam berat seperti aluminium memiliki mobilitas yang meningkat dan karena logam ini bersifat toksik maka dapat mengancam kehidupan biota. Sedangkan keseimbanga amonium dan amoniak akan terganggu apabila pH air terlalu basa. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga toksik terhadap biota.
2. DO
DO atau oksigen terlarut merupakan jumlah gas O2 yang diikat oleh molekul air. Kelarutan O2 di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh suhu dan mineral terlarut dalam air. Kelarutan maksimum oksigen dalam air terdapat pada suhu 0 C°, yaitu sebesar 14,16 mg/l. Konsentrasi ini akan menurun seiring peningkatan ataupun penurunan suhu. Sumber utama DO dalam perairan adalah dari proses fotosintesis tumbuhan dan penyerapan/pengikatan secara langsung oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara. Sedangkan berkurangnya DO dalam perairan adalah kegiatan respirasi organisme perairan atau melalui pelepasan secara langsung dari permukaan perairan ke atmosfer. Pengaruh DO terhadap biota perairan hanya sebatas pada kebutuhan untuk respirasi, berbeda dengan pengaruh suhu yang cenderung lebih komplek. Beberapa organisme perairan bahkan memiliki mekanisme yang memungkinkan dapat hidup pada kondisi oksigen terlarut yang sangat rendah. Beberapa contoh species yang memiliki kemampuan ini adalah larva dari Diptera dan Coleoptera serta larva dan pupa dari Culex sp. Organisme ini mempunyai sistem trachea terbuka seperti yang dimiliki oleh insekta terrestrial. Organisme ini dapat mengambil oksigen untuk respirasi dengan mengambil dari udara di permukaan air. Kemampuan tersebut menjadikan organisme ini dapat digunakan sebagai bioindikator ekosistem perairan yang tercemar oleh buangan limbah organik.
Bebrapa organisme perairan juga memiliki kemampuan untuk menyesuaikan
dengan kondisi lingkungan yang miskin oksigen seperti yang dilakukan oleh Planaria sp. Organisme ini apabila dalam perairan oksigen terlarut sangat rendah maka akan menurunkan konsumsi oksigen untuk respirasi, selanjutnya kekurangan oksigen tersebut akan dikompensasi pada proses respirasi selanjutnya dengan meningkatkan konsumsi oksigen, jadi organisme ini memiliki mekanisme yang unik dengan menyimpan oksigen di dalam tubuhnya untuk dimanfaatkan ketika lingkungan DO nya rendah. Mekanisme lain ditunjukan oleh species cacing Tubifex sp yang dapat hidup pada kondisi perairan tercemar bahan organik dan miskin oksigen terlarut. Mekanisme yang dilakukan oleh cacing ini adalah dengan membenamkan bagian kepalanya ke dalam lumpur sedangkan tubuh yang lain menjulur ke perairan. Dengan luas permukaannya organisme ini menyerap langsung DO melalui seluruh bagian tubuh yang menjurai ke dalam air. Secara umum organisme perairan memiliki daya adaptasi yang baik
terhadap DO rendah pada suhu yang relatif rendah. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan oksigen untuk proses fisiologis dan reaksi biokimiawi dalam tubuh organisme.
3. BOD
Nilai BOD (Biological Oxygen Demand) menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh organisme aerob untuk aktivitas hidup. Secara spesifik dalam hal ini
adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob untuk mendegradasi senyawa organik dalam perairan. Setelah melalui berbagai proses penelitian yang panjang dan berulang-ulang berhasil ditentukan pengukuran BOD dilakukan selama 5 hari atau dikenal dengan BOD5 pada suhu 20° C. Selisih antara
oksigen terlarut pada hari ke-0 dengan oksigen terlarut yang diukur setelah hari ke-5
yang didedah pada suhu 20° C disebut sebagai banyaknya oksigen yang dibutuhkan
oleh mikroorganisme untuk mendegradasi bahan organik dalam perairan. Nilai BOD
menunjukkan kandungan bahan organik dalam perairan, semakin tinggi nilai BOD
maka mengindikasikan bahwa perairan tersebut banyak mengandung bahan organik di
dalamnya. Demikian juga sebaliknya, apabila nilai BOD rendah maka
mengindikasikan bahwa perairan tersebut miskin bahan organik.
4. COD
Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menunjukan jumlah oksigen total
yang dibutuhkan di dalam perairan untuk mengoksidasi senyawa kimiawi yang masuk
ke dalam perairan seperti minyak, logam berat maupun bahan kimiawi lain. Besarnya
nilai COD mengindikasikan banyaknya senyawa kimiaei yang ada di dalam perairan
dan sebaliknya rendahnya nilai COD mengindikasikan rendahnya senyawa kimia di
dalam perairan. BOD dinyatakan dalam mg/lt
5. CO2
CO2 dalam air meskipun sangat mudah larut dalam air tetapi umumnya berada dalam keadaan terikat dengan air membentuk asam karbonat (H2CO3). Keterikatan CO2 dalam air dalam bentuk H2CO3 sangat dipengaruhi oleh nilai pH air. Pada pH Air yang rendah (pH = 4) karbondioksida berada dalam keadaan terlarut, pada pH antara 7 – 10 semua karbondioksida dalam bentuk ion HCO3־, sedangkan pada pH sekitar 11 karbondioksida dijumpai dalam bentuk ion CO32- , sehingga dalam keadaan basa akan menyebabkan peningkatan ion karbonat dan bikarbonat dalam perairan.
Karbondioksida dalam air dapat berasal dari pengikatan langsung dari udara bebas, dan melalui proses respirasi organisme. Karbondioksida dalam perairan sangat dibutuhkan terutama oleh tumbu-tumbuhan air termasuk algae untuk fotosistesis. Ada perbedaan mendasar antara fotosintesis yang berlangsung pada tumbuhan aquatik dengan fotosintesis tumbuhan tersestrial. Sumber karbondioksida yang dibutuhkan pada proses fotosintesis tumbuhan terestrial sepenuhnya langsung diambil dari atmosfir, sementara proses fotosintesis dalam lingkungan aquatiktergantung pada sumber karbondioksida yang terlarut dalam air. Ada jenis tumbuhan air yang dapat memanfaatkan karbondioksida bebas yang terlarut dalam air secara langsung, tetapi karena pH dalam perairan umumnya netral, maka jarang ditemukan karbondioksida dalam bentuk bebas. Berdasarkan pada sumber karbondioksida yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis, maka tumbuhan air dibedakan menjadi 3 tipe yaitu:
a. Tipe fontinalis, yaitu tumbuhan yang melakukan fotosintesis dengan memanfaatkan karbondioksida bebas, seperti pada lumut air (Fonatinalis
antipyretica)
b. Tipe Elodea, yaitu tumbuhan air yang untuk fotosintesis selain membutuhkan karbondioksida bebas juga dalam bentuk ion-ion karbonat
c. Tipe Scenedesmus, yaitu tumbuhan yang melakukan fotosintesis dengan memanfaatkan ion bikarbonat, biasanya dilakukan oleh ganggang hijau
Pada perairan yang mengandung kalsium tinggi, karbondioksida akan berikatan dengan kalsium karbonat membentuk kalsium hidrogen bikarbonat. Senyawa ini akan menjadi cadangan karbondioksida untuk fotosintesis.
6. Nitrogen
Dalam ekosistem perairan nitrogen dapat terdapat dalam berbagai bentuk. Sebagian besar dalam bentuk nitrogen molekuker (N2), dan sebagian kecil dalam bentuk nitrit (NO2) atau nitrat (NO3), serta Amonia (NH4). Nitrogen memegang peranan kritis dalam daur bahan organik untuk menghasilkan asam amino yang merupakan bahan dasar penyusunan protein.
Nitrogen terlarut dalam ekosistem perairan dapat berasal dari pengikatan molekul nitrogen oleh bakteri pengikat nitrogen, penguraian sisa-sisa organisme yang mati, dan proses oksidasi yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas. Untuk lebih jelasnya silahkan lihat siklus nitrogen pada buku Limnology (Goldman)
7. Fosfat
Fosfat dalam ekosistem perairan dapat terdapat dalam bentuk senyawa organik seperti protein ataupun gula, sebagian dalam bentuk kalsium fosfat (CaPO4) dan besi fosfat (FePO4) anorganik. Fosfat tersedia melimpah dalam perairan dalam bentuk ortofosfat. Senyawa anorganik ini dihasilkan oleh bakteri melalui pemecahan fosfat organik dari organisme yang mati. Proses ini berlangsung relatif mudah dan cepat, sehingga dalam ekosistem perairan fosfat bukan merupakan pembatas karena selalu tersedia dalam jumlah yang cukup.